banner 728x250
Palu  

PFI Palu Gelar Diskusi Jurnalistik Bahas Kebencanaan dan Etika Liputan

PFI Palu gelar diskusi jurnalistik bertema kebencanaan dan etika liputan, Senin (15/9/2025), di PGM. Foto – PFI Palu.

Palu, PUSATWARTA.ID – Pewarta Foto Indonesia (PFI) Palu menggelar diskusi jurnalistik bertema kebencanaan dan etika liputan, Senin (15/9/2025), di Palu Grand Mall (PGM).

Diskusi ini merupakan rangkaian dari kegiatan pameran foto jurnalistik bertajuk “Asa di Atas Patahan” yang menampilkan karya 25 pewarta foto dari dalam negeri dan Malaysia.

banner 728x90

Kegiatan ini menghadirkan dua narasumber, yakni Jefrianto dari Komunitas Historia Sulteng serta pewarta foto senior Basri Marzuki dari ANTARA FOTO.

Audiens berasal dari berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa, komunitas fotografi, lembaga pers kampus, hingga organisasi pers lokal.

Dalam pemaparannya, Jefrianto menekankan pentingnya memahami sejarah kebencanaan di wilayah rawan seperti Palu.

Baca lainnya :  Misi Pendidikan Parigi Moutong Disambut Positif Mendikdasmen

Ia menyebutkan bahwa banyak warga belum menyadari bahwa Palu memiliki rekam jejak bencana tsunami sebelum kejadian besar 28 September 2018.

“Hidup di atas patahan harus membuat kita paham benar di mana kita tinggal. Kalau kita tidak belajar dari sejarah, maka nasib kita bisa sama dengan para korban sebelumnya,” tegas Jefri.

Ia mengapresiasi langkah PFI Palu yang menghadirkan pameran foto sebagai bentuk edukasi publik.

Foto-foto yang ditampilkan dinilai bukan untuk menimbulkan ketakutan, melainkan menjadi pengingat kolektif agar masyarakat selalu waspada dan siap menghadapi potensi bencana.

Baca lainnya :  Kesetaraan Gender, Polda Sulteng Tempatkan Polwan Pertama sebagai Kasatreskrim

“Kenapa kita gagap saat itu? Karena kita melupakan sejarah. Foto-foto jurnalis ini adalah catatan sejarah yang harus terus ditampilkan agar generasi berikutnya tetap waspada,” ujarnya.

Sementara itu, Basri Marzuki memfokuskan paparannya pada etika dan teknik liputan bencana.

Menurutnya, karya jurnalistik, khususnya foto, tidak boleh semata-mata mengejar eksposur, tetapi harus memuat empati dan menghormati martabat korban.

“Liputan bencana akan bermakna ketika mampu menghadirkan empati sekaligus mendorong perhatian publik terhadap nasib para korban,” ujar Basri.

Ia juga menyoroti masih adanya pewarta yang cenderung mengeksploitasi kesedihan dengan menampilkan gambar tanpa persetujuan, bahkan di ruang-ruang terbatas dan sensitif.

Baca lainnya :  Kapolda Sulteng Pimpin Taklimat Akhir Audit Kinerja Itwasum Polri Tahap II

“Padahal, ada banyak sisi lain dari bencana yang penting untuk diangkat dan direkam sebagai karya jurnalistik yang utuh,” imbuhnya.

Basri menegaskan bahwa dalam menghasilkan karya foto jurnalistik, martabat subjek harus selalu dijaga.

“Jangan pernah menghilangkan martabat pada setiap subjek foto. Itulah prinsip dasar jurnalisme yang beretika,” tutupnya.

Diskusi ini menjadi bagian dari komitmen PFI Palu dalam menghadirkan jurnalisme visual yang edukatif dan beretika, serta mendorong kesadaran masyarakat terhadap pentingnya literasi bencana melalui media.

Editor: Ahmad Dhani

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *